Selasa, 09 Desember 2014

cerita anak dan orangtua

       Setiap orang tua, berharap buah cinta yang dilahirkan kedunia ini, kelak akan menghormati dan menyangi mereka, ketika sang anak telah dewasa. Seperti halnya ketika mereka menumpahkan kasih sayangnya kepada si buah hati sejak lahir kedunia. Tentu ini bukanlah harapan kecil. Mengingat banyak anak-anak yang telah berajak dewasa mulai bandel dan tak menuruti kehendak orang tua.
Wajar, kalau orang tua berharap seperti itu, karena merasa sudah berkorban dan berjasa membesarkan dan mendidik anak hingga mereka dewasa, bahkan menghantar hingga kepelaminan.
Namun, sebaliknya tak jarang kita mendengar ada orang tua yang menyakiti hati dan tubuh anaknya. Mulai dari memukul, mengancam, menghardik, cuek dan tak begitu peduli, hingga mengeluarkan titah. Titah dahsyat nan mengerikan yang sering kita dengar adalah, ketika pemikiran atau keputusan sang anak dianggap sudah tak sejalan lagi dengan orang tua, maka mereka tak mau lagi menganggap sang anak sebagai bagian dari silsilah keluarga. Duh!
Sering juga kita melihat anak yang masih kecil, dibentak, dihardik dan dipukul oleh bapak ibunya, jika dirasa nakalnya si bocah sudah kelewatan. Bahkan, para orangtua yang jumawa itu tak segan-segan memberikan julukan negatif pada buah hati yang belum mengerti apa-apa itu. Padahal, tindakan tadi bisa berpengaruh terhadap psikologis anak ketika ia telah beranjak dewasa. Bisa saja sang anak jadi ketakutan, trauma, atau mempunyai sifat yang berbeda dari teman-temannya karena pengaruh masa kecilnya yang sering “tak disayang orang tua”.
Ada cerita teman SD saya, namanya Dinda. Ketika ia kecil, ibunya sering menumpahkan nasi kewajahnya jika ia tak mau makan. Padahal, yah namanya juga anak kecil, gak bisa atau belum mau diatur-atur, toh? Jadi, jika ia tak mau makan, ya gak bisa dipaksa. Dan orang tua gak harus mencaplokkan piring beserta isinya ke wajah si anak, toh? Tak hanya itu, setiap ada kesalahan sedikit saja yang dilakukannya, maka ibunya akan marah dengan. memukul dan menjambak rambutnya. Nah, Karena sering mendapat perlakuan kasar dari sang ibu, membuat teman saya ketakutan dengan wanita yang melahirkannya itu, dan tak mau berkomunikasi lagi.
Hari demi hari ia lalui dalam ketakutan. Cerita demi cerita dalam hidupnya, hanya bisa Ia bagi dengan bapaknya saja. Bahkan, ketika ia mendapatkan haid tuk pertama kalipun, ia bercerita kepada bapaknya, bukan kepada wanita yang telah membuatnya takut itu. Sejak kelas 2 SD, ia sudah tak berkomunikasi lagi dengan ibunya . Bapaknya tau akan hal tersebut, namun tak bisa berbuat apa-apa.
Si ibu “yang tak sayang anak” tadi, rupanya memaklumi dan mengerti kenapa si anak ketakutan dan tak mau lagi berbicara padanya. Anehnya, si ibu juga ikut-ikutan mendiamkan anak gadisnya itu, bukan malah mendekati si anak, boro-boro mau minta maaf. Hingga, hubungan yang tak mulus itupun berlangsung sampai teman saya itu memasuki bangku kuliah, ketika ia telah tinggal bersama neneknya di kota lain.
Dinda bercerita, setelah ia telah pisah rumah dan menetap bersama neneknya, barulah untuk pertama kalinya sang Ibu menelpon dirinya dan menanyakan kabar. Setelah selesai berbicara dengan ibunya via telephone, tangisannyapun pecah saat itu juga karena menahan haru. Karena, itulah moment pertama kali ia berkomunikasi lagi dengan ibunya, setelah bertahun-tahun satu atap tak pernah bersentuhan. Sejak kecil. Sejak masih duduk dibangku SD. Bukanlah sebuah rentang waktu yang pendek. Ya, mungkin si ibu yang egois tadi baru menyadari kehilangan dan arti seorang anak.
Hingga akhirnya, ketika Dinda menikah baru-baru ini, barulah semuanya menjadi agak netral.
Meski sudah baikan, namun apakah Ibu tadi tak menyesal telah kehilangan begitu banyak moment berharga bersama sang anak gadis. Dari tak mengikuti tumbuh kembang jiwa dan pemikiran anak, tak tau keluh kesah anak ketika ia masih remaja hingga menemukan belahan jiwanya. Masihkah orang tua ingin menunjukkan kegoisannya sendiri? Hanya karena merasa telah melahirkan dan mengandung sang anak? Namun, tidak diiring dengan intropeksi diri, bahwa dia juga bersalah pada anak, yang membuat hubungan jadi tak normal…???
Teman saya yang lain, Fitri, berkisah, ketika kecil ia sering melihat kedua orang tuanya bertengkar dihadapannya, berkali-kali. Tentu, apa yang ia lihat itu, kini masih terekam jelas dalam ingatannya. Bagaimana ketika sang papa menghardik mamanya dengan begitu keras dan melontarkan kata kata yang tidak pantas. Hingga akhirnya mereka bercerai.
Fitri mengaku, ketika ia kecil dulu, tak terlalu merasakan dampak hal tersebut. Barulah saat ia menginjak bangku SMU, dampak dari seringnya melihat pertengkaran orang tua, baru ia rasakan. Fitri, menjadi sering ketakutan kalau melihat orang marah apalagi marah dengan suara bernada tinggi, seperti nada tinggi papanya yang sering ia dengar ketika kisruh dengan mamanya.
Sampai usia Fitri yang kini sudah matang, bayangan masa kecil dan ketidakharmonisan orang tuanya, masih menari-nari dalam ingatannya. Ia sering menangis dan sedih ketika mengingat hal itu. Bahkan, Fitri yang sekarang sudah bisa hidup mandiri, tumbuh menjadi anak yang egois dam mudah tersulut emosi. Namun, meski ia mempunyai sifat mudah marah, lucunya, ia juga tetap trauma ketika mendengar suara keributan. Ia langsung panik dan cemas, seolah olah itu terjadi pada dirinya. Pun dengan perceraian orang tuanya yang terjadi ketika ia masih kecil (yang akhirnya Fitri ikut ibunya, sementara Bapaknya entah dimana).
Karena hal itu, sampai sekarang ia takut membayangkan pernikahan, dan membenci dengan orang-orang yang menghalalkan perceraian, tanpa memikirkan psikologis anak-anaknya. Bahkan, teman saya itu tumbuh menjadi pribadi yang tertutup, karena kurang kasih sayang dari bapaknya. Pernah saya membaca di salah satu artikel majalah, bahwa jika anak tak pernah atau jarang berkomunikasi dengan bapak, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi yang tertutup, seperti kini yang dialami oleh Fitri.
Sebenarnya masih banyak lagi kisah lain, kisah ketika orang tua tak sayang terhadap anaknya.
Namun, ketika hal itu terjadi, sepertinya jarang orang tua yang sadar bahwa telah melakukan kesalahan terhadap buah hati, yang ketika diawal pernikahan sangat mereka harapkan kehadirannya. Mereka tak paham, kalau tumbuh kembang atau sifat/pribadi yang sekarang dimiliki anak mereka, barangkali ada partisipasi masa lalu, dampak dari apa yang didapatkan sang anak saat orangtuanya sedang tak harmonis, atau sering mendapatkan perlakuan tak selayaknya.
Syukurlah, sekarang sudah banyak majalah, buku dan tayangan media elektronik yang mengupas tentang bagaimana harusnya prilaku orang tua terhadap anaknya. Sering saya membaca atau melihat komentar dari para orang tua, ketika mereka telah selesai membaca ulasan tentang bagaimana mendidik anak, atau hal apa saja yang tidak boleh dilakukan terhadap anak. Banyak komentar dari para Papa dan Mama yang mengaku bahwa mereka baru tau hal tersebut. Janjinya sih, tidak akan mengulangi lagi kesalahan dan justru akan menerapkan anjuran yang diberikan oleh sang ahli atau psikolog seperti apa yang telah mereka baca pada artikel tersebut.
Ya, orang tua banyak yang tak sadar, bahwa perhatian dan kemampuan membiayai kebutuhan anak, dari urusan sekolah, pakaian, dan sandang-pangan, belumlah cukup untuk bisa memberikan asupan kasih sayang dan pelajaran moral atau sesuatu yang bisa mempengaruhi perkembangan pola berpikir si anak.
Hanya sekedar mengantar anak ke sekolah, mengajari anak belajar dirumah, mengadakan pesta ulang tahun, mengajak ketempat rekreasi/liburan, dan membelikan fasilitas ini itu, belum tentu membuat batin sang anak bahagia, apabila tak ada sentuhan emosional lain yang diberikan. Jarang ada orang tua yang memberikan sugesti baik pada anaknya, dengan ucapan ringan seperti ketika anak bangun pagi, kita mengucapkan :“Bersyukur ya Nak, kita hari ini bisa kembali melihat dunia dan bisa makan”, sambil memeluk buah hati dengan erat.
Terkait hal ini, menurut Agus Sutiyono seorang ahli Hypno Parenting dalam dalam bukunya yang berjudul : “Dahsatnya Hypno Parenting”, menuliskan : Jika sang anak sedang ngambek, kita bisa mengucapkan kata-kata seperti “Papa sayang kamu, Nak. Kamu cerdas, sehat dan bahagia”. Itulah yang dilakukan Agus pada anaknya, Citra.
Ya, ketika anak bersedih atau menangis, berilah perlakuan yang sama ketika ia sedang bahagia. Karea itu akan membuat memori bawah sadarnya memprogram keadaan waktu ia gembira, hingga tangisnyapun terhenti, karena ia merasa saat itu ia sedang bahagia .
Atau, hal lain yang bisa kita lakukan untuk memberikan kasih sayang secara psikologis adalah memeluk sang anak ketika pulang sekolah dengan memberikan pertanyaan yang menyenangkan. Bukan menghardik atau menghakimi si anak jika mendapatkan nilai yang jelek dalam pelajarannya. Orang tua yang baik, harus bisa meminimalisir konflik, menjaga emosi dan membangun kebiasaaan-kebiasaan baik, demi tumbuh kembang sang anak. Agus menyarankan, agar selalu perlakukan anak dengan baik. Jadikan semua yang anak lihat dan rasakan bersifat positif. Bahkan orang tua harus membangkitkan potensi si anak. Intinya, kita harus memberikan sugesti yang baik pada anak setiap hari.
Nah, kalau soal kepintaran, masih menurut Agus, yang bukunya dihadirkan sebagai penebar nilai Plus-plus bagi orang tua. Sebenarnya, tanpa cacat keturunan. manusia dilahirkan dengan jumlah sel otak yang sama. Trus, kalau memiliki jumlah sel otak yang sama, kenapa harus ada anak yang pintar dan bodoh? Ada anak yang pemalu, introvert dan extrovet? Nah, dari hasil penelitian ditemukan ternyata yang membuat anak menjadi cerdas atau bodoh , bukan jumlah sel otak melainkan sel syaraf tepi yang disebut dendrit. Jika denrit dapat berkembang baik, maka akan memberikan kontrisusi dalam peningkatan berbagai kemampuan untuk dapat meraih apapun yang diinginkan dalam kehidupan, tentu harus diimbangi dengan keselarassan dengan alam semesta.
Kabar buruknya, dendrit ini bisa mati, lo. Nah, jika dendrit mati, maka tak bisa tumbuh kembali. Yang menyebabkan dendrit mati dan membuat beberapa fungsi syaraf anak terganggu adalah perlakuan-perlakuan yang tidak menyenangkan dalam pertumbuhan. Perlakuan yang tidak menyenangkan tersebut misalnya prilaku kasar baik fisik maupun psikologis, serta membanding-bandingkan anak yang satu dengan yang lain, dan memberikan perlakuan berbeda .
Itulah yang menyebabkan anak menjadi lambat, tidak cekatan atau lemot. Jadi, kalau anak kita terihat lemah di akademik atau pelajaran sekolahnya, jangan langsung di sebut bodoh atau istilah sejenis lainnya. Sekali lagi, orang tua perlu intropeksi diri, atas apa yang terjadi pada anaknya. Jangan hanya mengharap anaknya pintar disekolah, tapi, dirumah selalu dimarahi dan di tekan. Toh, kemampuan anak beda-beda. Kalau ia tak pintar disisi akademik, mungkin ada kelebihan lain yang dipunyai olah anak. Dalam hal musik, olahraga, menulis, menggambar, mengkonsep atau bakat lain, misalnya.
Sayangnya, banyak orang yang mengganggap, pintar itu hanya mengarah pada bidang akademik saja. Padahal banyak juga, lo, ada orang yang pintar diatas kertas, tapi ketika diajak diskusi, eh malah vakum. Atau ada yang nilai rapornya bagus semua, tapi tak mampu jika diajak memecahkan suatu permasalahan.So..?
Bahkan, parahnya lagi, jika banyak orang tua yang berharap anaknya berprestasi disekolah, eh, malah….. ada orang tua yang tak memberi ucapan selamat kepada anaknya yang menjadi juara kelas. Menganggap hal itu biasa saja. Padahal jika anak diberikan ucapan selamat dengan pelukan atau belaian itu sudah cukup,lo, bagi mereka. Tak perlu hadiah muluk-muluk.
Nah, perasaan tak diperhatikan atau tak dihargai orang tua inilah yang sampai kini menggerogoti teman masa SMP saya, Lili. Dari SD sampai SMA, Lili selalu menjadi juara kelas dan mempunyai prestasi. Namun, orang tuanya tak pernah memberikan ucapan selamat, boro-boro apresiasi lain atas prestasinya itu.
Lili, sama seperti teman saya Fitri, yang saya ceritakan di awal tadi, merupakan anak dari orang tua yang bercerai ketika ia masih kecil. Bahkan, hingga kini ia tak tau keberadaan bapak kandungnya. Padahal ia ingin sekali bertemu. Bukan utuk meminta uang, tapi haya sekedar silaturahmi atau ingin bercakap-cakap saja. Namun ia tak pernah menemukan keberadaan Bapaknya.
Jejaring sosialpun menjadi sasaran empuk untuk ia menumpahkan kegalauan dan kesedihannya. Salah satu statusnya yang pernah saya baca di akun Facebooknya : “Kalau aku tak diinginkan dari kecil, kenapa aku dilahirkan. Apa yang salah dengan diriku.? Siapa yang bertanggung jawab dengan diriku jika aku kelaparan?” Itulah kita-kira sekelumit kegelisahan Lili, yang sampai saat ini tak pernah dinafkahi dan berkomunikasi dengan bapaknya. Hanya ibunya saja yang mengurusinya.
Perasaan tertekan dan merasa tak seberuntung nasib-nasib teman-teman yang lain, membuat Lili, menjadi depresi dan bahkan berpengaruh terhadap pekerjaan dan pergaulan. Ia pernah dipecat dari kantornya. Bukan karena ia tak mampu, hanya saja emosi dan sifat merasa benar sendiri, sepertinya hinggap ditubuhinya. Jadi, ia merasa apa yang sudah dilakukan benar, namun salah menurut atasannya.
Nah, masih saya ambil dalam bukunya Agus Sutiyono. Ia juga menyinggung soal keluarga yang seharusnya menjadi tempat pertama pembangunan keberhasilan dalam kehidupan. Dimana, disitulah titik awal seseorang menemukan kekuatan pikiran, perasaaan dan daya yang luar biasa. Lah, ini gimana seorang anak mau berhasil, kalau keluarganya saja amburadul atau gak jelas.
Jadi, tak heran, kalau saya melihat teman saya ini, meski ia sukses di bidang akademik, namun tak sukses di karir. Berkali-kali ia pindah kerja, tanpa ada pencapaian. Hanya satu bulan ngantor ditempat yang baru, lantas resign, karena mengganggap apa yang ada di kantor tak sesuai dengan keinginannya. Loh, bukannya kalau kita kerja ditempat orang, ya memang harus menuruti aturan yang ada, toh? Bukan harus menuruti kemauan kita. Bahkan, sudah dua tahun ini ia menganggur, dan pontang-panting mencari pekerjaan. Padahal otaknya encer dan kemampuannya baik, menurut saya.
Namun, apa yang terjadi pada Lili, kalau berkaca pasa masa lalunya, yang merasa tak di hargai oleh orang tua sendiri, mungkin itulah penyebab keberontakannya pada dunia kerja yang dianggapnya tak sejalan dengan pikirannya.
Nah, kalau sudah begini, tentu kita tak bisa menyalahkan Lili seratus persen, toh. Karena apa yang dilakukannya saat ini, tak lepas dari pengaruh masa lalunya hingga membentuk karakter diri yang keras dan merasa benar sendiri.
Ehm, dengan uraian kisah yang saya paparkan diatas tadi, apakah orang tua masih pantas untuk berharap agar anaknya patuh, hormat dan memperlakukannya dengan baik? Padahal orang tua sendiri tak ingat bahwa mereka pernah memberikan perlakuan tak layak kepada anaknya, hingga membuat anak menjadi pribadi yang melawan, pembangkang bahkan tertutup?
Sepertinya, diera modern dilengkapi digital yang canggih dengan informasi yang banyak, bukan zamannya lagi tuk memberlakukan anak layaknya boneka.
Namun, sayangnya banyak orang tua juga yang tak mau mengerti dan mengakui, bahwa mereka pernah lo melakukan kesalahan terhadap anak, secara sadar maupun tidak. Yang pada akhirnya, perlakuan orang tua yang tidak layak tadi, ditangkap oleh sang anak, lantas ditiru. Yang lebih parah lagi, itu akan menempel terus di hati, jiwa dan otak si buah hati sampai ia dewasa.
Nah, sebagai orang tua, masihkah layakkah kita berharap penghargaan dari Anak, kalau kita sendiri tak begitu menyayangi anak ?

1 komentar: